Friday, November 1, 2013

Teori-Teori belajar


BAB II
PEMBAHASAN

A.      TEORI BEHAVIORISTIK
1.    Pengertian Belajar Menurut Teori Behavioristik
Menurut teori behavioristik, belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai akibat dari adaya interaksi antara stimulus dan respon. Dengan kata lain, belajar adalah perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika ia dapat menujukkan perubahan tingkah lakunya. Menurut teori ini yang terpenting adalah masukan atau input yang berupa stimulus dan keluaran atau output yang berupa respons. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada siswa misalnya daftar perkalian, alat peraga, pedoman kerja, atau cara –cara tertentu, untuk membantu belajar siswa. Sedangkan respons adalah reaksi atau tanggapan siswa terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. (Asri Budiningsih, 2008:20)
Menurut teori behavioristik, apa yang terjadi di antara stimulus dan respon dianggap tidak penting diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati hanyalah stimulus dan respon. Oleh sebab itu, apa saja yang diberikan guru (stimulus), dan apa saja yang dihasilkan siswa (respon), semuanya harus dapat diukur dan diamati. Faktor lain yang juga dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement). Penguatan adalah apa saja yang dapat memperkuat timbulnya respon. Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu juga bila penguatan dikurangi (negative reinforcement) respon pun akan tetap dikuatkan. Jadi penguatan merupakan suatu bentuk stimulus yang penting diberikan (ditambahkan) atau dihilangkan (dikurangi) untuk memungkinkan terjadinya respons. (Asri Budiningsih, 2008:21)
Tokoh –tokoh aliran behavioristik diantaranya adalah Thorndike, Watson, Clark Hull, Edwin Gutrie, dan Skinner. Pada dasarnya para penganut aliran behavioristik setuju dengan pengertian belajar diatas, namun ada beberapa perbedaan pendapat diantara mereka. Akan dibahas secara singkat karya para tokoh sebagai berikut:
a)   Thorndike
Teori Thorndike disebut juga sebagai aliran Koneksionisme. Menurut teori ini, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Jadi perubahan tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkrit yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku yang tidak dapat diamati. Ada tiga hukum belajar yang utama, menurut Thorndike yakni (1) Hukum Kesiapan (law of readiness), (2) Hukum Latihan (law exercise), dan (3) Hukum Efek (law of effect). http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_Belajar_Behavioristik
b)   Watson
Watson mendefinisikan belajar sebagai proses interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud harus dapat diamati (observable) dan dapat diukur. Jadi walaupun dia mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar, namun dia menganggap faktor tersebut sebagai hal yang tidak perlu diperhitungkan karena tidak dapat diamati.
c)    Clark Hull
Clark Hull juga menggunakan variabel hubungan antara stimulus dan respon untuk menjelaskan pengertian belajar. Namun dia sangat terpengaruh oleh teori evolusi Charles Darwin. Bagi Hull, seperti halnya teori evolusi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga agar organisme tetap bertahan hidup. Oleh sebab itu Hull mengatakan kebutuhan biologis (drive) dan pemuasan kebutuhan biologis (drive reduction) adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus (stimulus dorongan) dalam belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon yang akan muncul mungkin dapat berwujud macam-macam. Penguatan tingkah laku juga masuk dalam teori ini, tetapi juga dikaitkan dengan kondisi biologis.

d)   Edwin Guthrie
Azas belajar Guthrie yang utama adalah hukum kontiguiti. Yaitu gabungan stimulus-stimulus yang disertai suatu gerakan, pada waktu timbul kembali cenderung akan diikuti oleh gerakan yang sama (Bell, Gredler, 1991). Guthrie juga menggunakan variabel hubungan stimulus dan respon untuk menjelaskan terjadinya proses belajar. Penguatan sekedar hanya melindungi hasil belajar yang baru agar tidak hilang dengan jalan mencegah perolehan respon yang baru. Guthrie juga percaya bahwa hukuman (punishment) memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan mampu mengubah tingkah laku seseorang.
e)    Skinner
Konsep-konsep yang dikemukanan Skinner tentang belajar lebih mengungguli konsep para tokoh sebelumnya. Menurut Skinner respon yang diterima seseorang tidak sesederhana itu, karena stimulus-stimulus yang diberikan akan saling berinteraksi dan interaksi antar stimulus itu akan mempengaruhi respon yang dihasilkan. Respon yang diberikan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi inilah yang nantinya memengaruhi munculnya perilaku. Namun, Konsekuensi – imbalan atau hukuman bersifat sementara pada perilaku organisme.
Menurut Skinner, pengkondisian Operan terdiri dari 2 konsep utama, yaitu : penguatan (reinforcement), yang terbagi kedalam penguatan positif dan penguatan negative, dan hukuman (punishment). Penguatan positiv (positeve reinforcement) adalah apa saja stimulus yang dapat meningkatkan sesuatu tingkah laku. Penguatan negativ (negative reinforcement) apa saja stimulus yang menyakitkan atau yang menimbulkan keadaan tidak menyenangkan atau tidak mengenakan perasaan sehingga dapat mengurangi terjadinya sesuatu tingkah laku. Hukuman (punishment) adalah apa saja stimulus yang menyebabkan sesuatu respon atau tingkah laku menjadi berkurang atau bahkan langsung dihapuskan atau ditinggalkan.

2.    Analisis Teori Behavioristik
Pandangan teori behavioristik telah cukup lama dianut oleh para pendidik. Namun dari semua teori yang ada, teori Skinnerlah yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar behavioristik. Teori behavioristik banyak dikritik karena seringkali tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan dan/atau belajar yang dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan respon. Teori ini tidak mampu menjelaskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam hubungan stimulus dan respon.
Pandangan behavioristik juga kurang dapat menjelaskan adanya variasi tingkat emosi pebelajar, walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan yang sama. Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan pebelajar untuk berfikir linier, konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif.
Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik pebelajar, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin.
Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagai aktivitas “mimetic”, yang menuntut pebelajar untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan pebelajar secara individual.

B.       TEORI KOGNITIF
1.    Pengertian Belajar Menurut Teori Kognitif
Teori belajar kognitif lebih mementingkan proses belajar dari pada hasil belajarnya. Para penganut aliran kognitif mengatakan bahwa belajar tidak sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan respon. Belajar merupakan aktifitas yang melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks. Dalam praktek pembelajaran, teori kognitif antara lain tampak dalam rumusan- rumusan seperti: “Tahap- tahap perkembangan” yang dikemukakan oleh J. Piaget, Advance organizer oleh Ausubel, Pemahaman konsep oleh Bruner, Hirarkhi belajar oleh Gagne, Webteaching oleh Norman, dan sebagainya. (DR. C. Asri Budiningsih, 2008: 34)
Berdasarkan teori belajar kognitif, belajar merupakan suatu proses terpadu yang berlangsung di dalam diri seseorang dalam upaya memperoleh pemahaman dan struktur kognitif baru, atau untuk mengubah pemahaman dan struktur kognitif lama.. Proses belajar dipandang sebagai proses pengolahan informasi yang meliputi tiga tahap, yaitu perhatian (attention), penulisan dalam bentuk simbol (encording), dan mendapatkan kembali informasi (retrieval). Teori belajar kognitif ini dikembangkan oleh beberapa orang ahli seperti Wallace, Engel dan Mooney, Jean Piaget, serta Jerome S. Bruner( Depdiknas, 2004:8).
Dalam pengolahan informasi, ada dua hal yang terlibat , yaitu siswa dengan aktif memproses, menyimpan dan mendapatkan kembali informasi, dan pembelajaran (teaching) yang merupakan upaya membantu siswa dalam mengembangkan keterampilan mengolah informasi dan menggunakannya secara sistematis untuk menguasai kompetensi tertentu. Keefektifan pembelajaran diantaranya dipengaruhi oleh bentuk belajar yang ingin dimunculkan pada diri siswa. Mengajar merupakan suatu proses menciptakan lingkungan yang dapat memberi kemungkinan terjadinya proses belajar (Gagne & Briggs, 1988).
Dalam konteks belajar, jenjang proses kognitif dimulai dari belajar yang paling sederhana, yaitu keterampilan motorik, belajar sikap, dan belajar informasi verbal, menuju kejenjang kompleks (keterampilan intelektual) yang meliputi strategi kognitif, belajar konsep, dan belajar pemecahan masalah (Gredler, 1986). Dalam pespektif teori kognitif, belajar konsep, disamping berjenjang, juga bersyarat. (Dra. Sumiati, Asra, M.Ed. 2007: 47- 49)
2.    Teori Perkembangan Piaget
Piaget adalah seorang  tokoh psikologi kognitif yang besar pengaruhnya terhadap perkembangan pemikiran para pakar kognitif lainnya. Menurut Piaget, perkembangan kognitif merupakan suatu proses genetik. Piaget tidak melihat perkembangan kognitif sebagai sesuatu yang dapat didefinisikan secara kuantitatif. Ia menyimpulkan bahwa daya pikir atau kekuatan mental anak yang berbeda usia akan berbeda pula secara kualitatif. Proses adaptasi mempunyai dua bentuk, yaitu asimilasi dan akomodasi. Menurut Piaget, proses belajar akan terjadi jika mengikuti tahap- tahap asimilasi, akomodasi dan ekuilibrasi (penyeimbangan). Agar seseorang dapat terus mengembangkan dan menambah pengetahuannya sekaligus menjaga stabilitas mental dalam dirinya, maka diperlukan proses penyeimbangan. Proses yang menyeimbangkan antara lingkungan luar dengan struktur kognitif yang ada dalam dirinya. Proses inilah yang disebut ekuilibrasi. Tanpa proses ekuilibrasi, perkembangan kognitif seseorang akan mengalami gangguan dan tidak teratur (disorganized). Piaget membagi tahap- tahap perkembangan kognitif ini menjadi empat yaitu:
a.      Tahap sensorimotor (umur 0- 2 tahun)
Ciri pokok perkembangannya berdasarkan tindakan, dan dilakukan langkah demi langkah.
b.      Tahap preoperasional (umur 2- 7/8 tahun)
Ciri pokok perkembangan pada tahap ini adalah pada penggunaan symbol atau bahasa tanda, dan mulai berkembangnya konsep- konsep intuitif. Tahap ini dibagi menjadi dua, yaitu preoperasional dan intuitif.
c.       Tahap operasional konkret (umur 7 atau 8- 11 atau 12 tahun)
Ciri pokok perkembangan pada tahap ini adalah anak sudah mulai menggunakan aturan- aturan yang jelas dan logis, dan ditandai adanya kekekalan.
d.      Tahap operasional formal (umur 11/12- 18 tahun)
Ciri pokok perkembangan pada tahap ini adalah anak sudah mampu berfikir abstrak dan logis dengan menggunakan pola berpikir “kemungkinan”. (DR. C. Asri Budiningsih, 2008: 35- 39)
3.    Teori Belajar Menurut Bruner
Jerome Bruner (1966) adalah seorang pengikut setia tori kognitif, khususnya dalam studi perkembangan fungsi kognitif. Dalam memandang proses belajar, Bruner menekankan adanya pengaruh kebudayaan terhadap tingkah laku seseorang. Dengan teorinya yang disebut  free discovery learning, ia mengatakan bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan, atau pemahaman melalui contoh- contoh yang ia jumpai dalam kehidupannya. Bruner menyatakan bahwa perkembangan bahasa besar pengaruhnya terhadap perkembangan kognitif.
Menurut Bruner perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui tiga tahap yang ditentukan oleh caranya melihat lingkungan, yaitu:
1)      Tahap enaktif, seseorang melakukan aktivitas- aktivitas dalam upayanya untuk memahami lingkungan sekitarnya.
2)      Tahap ikonik, seseorang memahami objek- objek atau dunianya melalui gambar dan visualissi verbal.
3)      Tahap simbolik, seseorang  telah mampu memiliki ide- ide atau gagasan- gagasan abstrak yang sangat dipengaruhi oleh kemampuannya dalam berbahasa dan logika.
Cara yang baik untuk belajar adalah memahami konsep, arti dan hubungan melalui proses intuitif untuk akhirnya sampai kepada kesimpulan (discovery learning). (DR. C. Asri Budiningsih, 2008: 40- 43)
4.    Teori Belajar Bermakna Ausubel
Advance organizers yang juga dikembangkan oleh Ausubel merupakan penerapan konsepsi tentang struktur kognitif didalam merancang pembelajaran. Penggunaan advance organizers sebagai kerangka isi akan dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam mempelajari informasi baru, karena merupakan kerangka dalam bentuk abstraksi atau ringkasan konsep- konsep dasar tentang apa yang dipelajari, dan hubungannya dengan materi yang telah ada dalam struktur kognitif siswa. Jika ditata dengan baik, advance organizers akan memudahkan siswa mempelajari materi pelajaran yang baru, serta hubungannya dengan materi yang telah dipelajarinya.
Berdasarkan pada konsepsi organisasi kognitif seperti yang dikemukakan oleh Ausubel tersebut, dikembangkanlah oleh para pakar teori kognitif suatu model yang lebih eksplisit yang disebut dengan skemata.
Beberapa pemikiran ke arah penataan isi bidang studi atau materi pelajaran sebagai strategi pengorganisasian isi pembelajaran yang berpijak pada teori kognitif, dikemukakan secara singkat sebagai berikut (Degeng, 1989)
a)Hirarkhi belajar, b)Analisis tugas, c)Subsumptive sequence, d)Kurikulum spiral, e)Teori Skema, f)Webteaching, g)Teori Elaborasi.
5.    Aplikasi Teori Kognitif Dalam Pembelajaran
a.    Memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya.
b.    Memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya.
c.    Memberi kesempatan kepada siswa untuk memncoba gagasan baru.
d.   Memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan siswa
e.    Mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka.
f.     Menciptakan lingkungan yang kondusif.
Kelebihan dan Kelemahan dalam Teori Belajar Kognitif:
1.    Kelebihan Teori Belajar Kognitif: Dapat meningkatkan kemampuan siswa untuk memecahkan masalah (problem solving), dapat meningkatkan motivasi.
2.    Kekurangan Teori Belajar Kognitif: Tidak dapat diukur hanya dengan satu orang siswa saja , maksudnya kemampuan siswa harus diperhatikan.

C.      TEORI KONSTRUKTIVISTIK
Pendekatan konstrutivistik dikemukakan oleh Gagnon dan Collay (2001) yang mengemukakan bahwa “…pendekatan konstruktivistik merujuk kepada asumsi bahwa manusia mengembangkan dirinya dengan cara melibatkan diri baik dalam kegiatan secara personal maupun social dalam membangun ilmu pengetahuan.”(p.10). Dalam rangka memahami cara manusia mengkonstruksi pengetahuannya tentang objek-objek dan peristiwa-peristiwa yang dijumpai selama kehidupannya. Manusia akan mencari dan menggunakan hal-hal atau peralatan yang dapat membantu memahami pengalamannya. Demikian juga, manusia akan mengkonstruksi dan membentuk pengetahuan mereka sendiri. Pengetahuan seseorang merupakan konstruksi dari dirinya.
Asal kata konstruktivisme yaitu “to construct” yang berarti “membentuk”. Konstruktivisme adalah salah satu aliran filsafat yang mempunyai pandangan bahwa pengetahuan yang kita miliki adalah hasil konstruksi atau bentukan diri kita sendiri. Menurut teori konstruktivistik, pengetahuan bukanlah sesuatu yang sudah ditentukan, melainkan sesuatu proses pembentukan yang terus menerus oleh seseorang yang setiap saat mengalami reorganisasi karena adanya pemahaman-pemahaman baru.
Pandangan Piaget tentang bagaimana sebenarnya pengetahuan itu terbentuk dalam struktur kognitif anak, sangat berpengaruh terhadap beberapa model pembelajaran diantaranya model pembelajaran konstekstual. Menurut pembelajaran konstekstual, pengetahuan itu akan bermakna manakala ditentukan dan dibangun sendiri oleh siswa. Pengetahuan yang diperoleh dari hasil pemberitahuan orang lain, tidak akan menjadi pengetahuan yang bermakna. Pengetahuan yang demikian akan mudah dilupakan dan tidak fungsional.
a.         Proses Belajar Konstruktivistik.
Proses belajar disini bukan sebagai perolehan informasi yang berlangsung satu arah dari luar ke dalam diri siswa, melainkan sebagai pemberian makna cara oleh siswa kepada pengalamannya melalui proses asimilasi dan akomodasi. Peristiwa belajar akan berlangsung lebih efektif jika siswa berhubungan langsung dengan objek yang sedang dipelajari dan ada di lingkungan sekitar. Oleh sebab itu, pengelolaan pembelajaran harus diutamakan pada pengelolaan siswa dalam memproses gagasannya, bukan semata-mata pada pengelolaan siswa dan lingkungan belajarnya bahkan pada unjuk kerja atau prestasi belajarnya yang dikaitkan dengan system penghargaan dari luar seperti nilai, ijazah, dan sebagainya.
b.        Peranan Siswa (Si-Belajar).
Menurut pandangan konstruktivistik, belajar merupakan suatu proses pembentukan pengetahuan. Pembentukan ini harus dilakukan oleh si belajar. Ia harus aktif melakukan kegiatan, aktif berfikir, menyusun konsep dan memberi makna tentang hal-hal yang sedang dipelajari. Guru memang dapat dan harus mengambil prakarsa untuk menata lingkungan yang memberi peluang optimal bagi terjadinya belajar. Namun yang akhirnya paling menentukan terwujudnya gejala belajar adalah niat belajar siswa sendiri. Dengan istilah lain, dapat dikatakan bahwa hakekatnya kendali belajar sepenuhnya ada pada siswa.
c.         Peranan Guru.
Dalam belajar kontruktivistik guru atau pendidik berperan membantu agar proses pengkonstruksian pengetahuan oleh siswa belajar lancar. Guru tidak menstransferkan pengetahuan yang telah dimilikinya, melainkan membantu siswa untuk membentuk pengetahuannya sendiri. Berdasarkan pandangan ini, tugas seorang guru atau instruktur adalah menciptakan lingkungan belajar yang sering diistilahkan sebagai “scenario of problems”,yang mencerminkan adanya pengalaman belajar yang nyata dan dapat diaplikasikan dalam sebuah situasi yang sesungguhnya.
d.        Sarana Belajar.
Pendekatan konstruktivistik menekankan bahwa peranan utama dalam kegiatan belajar adalah aktifitas siswa dalam mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Segala sesuatu seperti bahan, media, peralatan, lingkungan, dan fasilitas lainnya disediakan untuk membantu pembentukan tersebut. Siswa diberi kebebasan untuk mengungkapkan pendapat dan pemikirannya tentang sesuatu yang dihadapinya. Dengan cara demikian, siswa akan terbiasa dan terlatih untuk berpikir sendiri, memecahkan masalah yang dihadapinya, mandiri, kritis, kreatif, dan mampu mempertanggung jawabkan pemikirannya secara rasional.
e.         Evaluasi Belajar
Pandangan konstruktivistik mengemukakan bahwa lingkungan belajar sangat mendukung munculnya berbagai pandangan dan interpretasi terhadap realitas, konstruksi pengetahuan serta aktivitas –aktivitas lain yang didasarkan pada pengalaman. Evaluasi yang digunakan untuk menilai hasil  belajar konstruktivistik, memerlukan proses pengalaman kognitif bagi tujuan –tujuan konstruktivistik.
Bentuk –bentuk evaluasi konstruktivistik dapat diarahkan pada tugas –tugas autentik, mengkonstruksi pengetahuan yang menggambarkan proses berpikir yang lebih tinggi, mengkonstruksi pengalaman siswa, dan mengarahkan evaluasi pada konteks yang luas dengan berbagai perspektif.
Tujuan teori konstruktivistik dalam pembelajaran adalah agar siswa memiliki kemampuan dalam menemukan, memahami, dan menggunakan informasi atau pengetahuan yang dipelajari.
Tokoh-tokoh pendidik yang menggagas teori konstruktivisstik dalam pembelajaran antara lain John Dewel, Jean Piaget, Maria Montessori, dan Lev Vigotsky. Menurut mereka, pada dasarnya seseorang adalah pencipta pengetahuannya sendiri. Dalam membangun pengetahuan tersebut individu melakukan beberapa kegiatan yang bersifat esensial antara lain mengajukan pertanyaan, menggali pengetahuan dan menguji pengetahuan yang telah dipelajari.

D.      TEORI HUMANISTIK.
1.    Teori Belajar Humanistik
Selain teori belajar behafioristik dan teori kognitif, teori balajar humanistic juga penting dipahami. Menurut teori humanistic, proses belajar harus dimulai dan ditujukan untuk kepentingan memanusiakan manusia itu sendiri. Teori humanistic sifatnya lebih abstrak dan lebih mendekati bidang kajian filsafat, teori kepribadian dan psikoterapi, dari pada bidang kajian psikologi belajar. Teori humanistic sangat mementingkan isi yang dipelajari dari pada proses belajar itu sendiri. Teori belajar ini lebih banyak berbicara tentang konsep-konsep pendidikan untuk membentuk manusia yang dicita-citakan serta proses belajar dalam bentuknya yang paling ideal.
Pemahaman terhadap belajar yang diidealkan menjadikan teori balajar humanistic dapat mamanfaatkan teori apapun asal tujuannya untuk mamanusiakan manusia. Hal ini menjadikan eri humanistic bersifat sangat eklektik.dalam arti ini eklektisisme bukanlah suatu system dengan membiarkan unsur-unsur tersebut dalam keadaan sebagaimana adanya atau aslinya. Dengan demikian teori humanstik dengan pandangannya yang aklektik yaitu dengan cara memanfaatkan atau merangkumkan berbagai teori belajar dengan tujuan untuk memanusiakan manusia bukan saja mungkin untuk dilakukan, tapi justru harus dilakukan.
2.    Tokoh-Tokoh Penganut Aliran Humanistic
a.    Kolb seorang ahli penganut teori humanistic membagi tahap-tahap belajar menjadi 4 yaitu:
1.    Tahap pengalaman konkret
Pada tahap paling awal dalam peristiwa belajar adalah seseorang mampu atau dapat mengalami suatu peristiwa atau suatu kejadian sebagaimana adanya.
2.    Tahap pengalaman aktif dan reflektuf
Tahap kedua dalam peristiwa belajar adalah bahwa sseorang makin lama akan semakin mampu melakukan ovbservasi secara aktif terhadap peristiwa yang dialaminya.
3.    Tahap konseptualisasi
Tahap ketiga dalam peristiwa belajar adalah seseorang sudah mulai berupaya untuk membuat abstraksi, mengembangkan suatu teori, konsep atau hukum dan prosedur yang menjadi objek perhatiannya.
4.    Tahap eksperimentasi aktif.
Tahap terakhir adalah melakukan eksperimentasi aktif. Seseorang sudah mampu mengaplikasikan konsep-konsep, teori –teori atau aturan –aturan ke dalam situasi nyata.
b.   Honey dan Mumford menggolongkan orang-orang yang belajar menjadi 4 golongan:
1.    Kelompok aktifis, adalah kelompok orang –orang yang senang melibatkan diri dan berpartisipasi aktif dalam berbagai kegiatan dengan tujuan untuk memperoleh pengalaman –pengalaman baru.
2.    Kelompok reflector, adalah mereka yang mempunyai kecendurangan berlawanan dengan mereka yang termasuk kelompok aktivis.
3.    Kelompok teoris, adalah mereka yang mempunyai kecenderungan sangat kritis, suka menganalisis, selalu berfikir rasional dengan menggunakan penalarannya.
4.    Kelompok pragmatis, adalah mereka yang memiliki sifat –sifat praktis, tidak suka berpanjang lebar dengan teori –teori, konsep –konsep, dalil –dalil dan sebagainya.
c.    Habermas
Beliau berpendapat bahwa belajar baru akan terjadi jika ada interaksi Antara indifidu dengan lingkungannya. Dengan pandangan yang demikian, ia membagi tipe belajar menjadi 3,yaitu:
1.    Belajar teknis(technical learning), yaitu belajar bagaimana seseorang dapat berinteraksi dengan lingkungan alamnya secara benar.
2.    Belajar praktis(practical learning), belajar bagaimana seseorang dapat berinteraksi dengan lingkungan sosialnya, yaitu dengan orang –orang disekelilingnya dengan baik.
3.    Belajar emansipatoris(emancipatori learning), menekankan upaya agar seseorang mencapai suatu pemahaman dan kesadaran yang tinggi akan terjadinya perubahan atau transformasi budaya dalam lingkungan sosialnya.
d.   Bloom dan Krathwohl
Bloom dan krathwohl juga termasuk penganut aliran humanistic. Mereka lebih menekankan perhatiannya pada apa yang mesti dikuasai oleh individu (sebagai tujuan belajar). Tujuan belajar yang dikemukakannya diragkum kedalam tiga kawasan yang dikenal denagn taksonomi Bloom. Tiga kawasan dalam taksonomi Bloom tersebut adalah:
1.    Domain kognitif,terdiri atas 6 tingkatan,yaitu:
a)    Pengetahuan(mengingat dan menghafal)
b)   Pemahaman(mengintrepretasikan)
c)    Apliksi(menggunakan konsep untuk memecahkkan masalah)
d)   Analisis(menjabarkan suatu konsep)
e)    Sintesis(menggabungkan bagian-bagian konsep menjadi satu bagian utuh)
f)     Evaluasi(membagikan nilai-nilai,ide,metode dsb)
2.    Domain psikomotor,terdiri atas 5 tingkatan,yaitu:
a)    Peniruan(menirukan gerak)
b)   Penggunaan(menggunakan konsep untuk menirukan gerak)
c)    Ketepatan(menirukan gerak dengan benar)
d)   Perangkaian(melakukan beberapa gerak sekaligus dengan benar)
e)    Naturalisasi(melakukan gerak secara wajar)
3.    Domain efektif,yang terdiri dari 5 tingkatan,yaitu:
a)    Pengenalan(ingin menerima,sadar akan adanya sesuatu)
b)   Merespon(aktifberpartisipasi)
c)    Penghargaan (menerima nilai-nilai,setia kepada nilai-nilaitertentu)
d)   Pengorganisasian (menghubung-hubungkan nilai-nilai yang dipercayainya)
e)    Pengamalan(menjadikan nilai-nilai sebagai bagian dari pola hidupnya)

3.    Aplikasi teori belajar Humanistik dalam pembelajaran
Teori humanistik sering dikritik karena sukar diterapkan dalam konteks yang lebih praktis. Teori ini dianggap lebih dekat dengan bidang filsafat, teori kerpibadian dan psikoterapi dari pada bidang pendidikan, sehingga sukar menterjemahkannya ke dalam langkah –langkah yang lebih konkret dan praktis. Namun, karena sifatnya yang ideal, yaitu memanusiakan manusia, maka teori humanistik mampu memberikan arah terhadap semua komponen pembelajaran untuk mendukung tercapainya tujuan tersebut.
Teori humanistik akan sangat membantu para pendidik dalam memahami arah belajar pada dimensi yang lebih luas, sehingga upaya pembelajaran apapun dan pada konteks manapun akan selalu diarahkan dan ditujukan untuk mencapai tujuannya. Dalam prakteknya teori humanistik ini cenderung mengarahkan siswa untuk berfikir induktif, mementingkan pengalaman, serta membutuhkan keterlibatan siswa secara aktif dalam proses belajar.

E.       TEORI SIBERNETIK
1.    Pengertian Belajar Menurut Teori Sibernetik
Teori belajar sibernetik merupakan teori belajar yang relatif baru dibandingkan dengan teori-teori belajar yang sudah dibahas sebelumnya. Teori ini berkembang sejalan dengan perkembangan teknologi dan ilmu informasi. Menurut teori sibernetik, belajar adalah pengolahan informasi. Seolah-olah teori ini mempunyai kesamaan dengan teori kognitif yaitu mementingkan proses belajar daripada hasil belajar. Proses belajar memang penting dalam teori sibernetik, namun yang lebih penting lagi adalah sistem informasi yang diproses yang akan dipelajari siswa. (Asri Budiningsih, 2008: 81)
Asumsi lain dari teori sibernetik adalah bahwa tidak ada satu proses belajarpun yang ideal untuk segala situasi, dan yang cocok untuk semua siswa. Sebab cara belajar sangat ditentukan oleh sistem informasi. Sebuah informasi mungkin akan dipelajari oleh seorang siswa dengan satu macam proses belajar, dan informasi yang sama mungkin akan dipelajari siswa lain melalui proses belajar yang berbeda.
Dalam upaya menjelaskan bagaimana suatu informasi (pesan pengajaran) diterima, disandi, disimpan, dan dimunculkan kembali dari ingatan serta dimanfaatkan jika diperlukan, telah dikembangkan sejumlah teori dan model pemrosesan informasi oleh Snowman (1986); Baine (1986); dan Tennyson (1989). Teori-teori tersebut umumnya berpijak pada asumsi:
a.    Bahwa antara stimulus dan respon terdapat suatu seri tahapan pemrosesan informasi dimana pada masing-masing tahapan dibutuhkan waktu tertentu.
b.    Stimulus yang diproses melalui tahapan-tahapan tadi akan mengalami perubahan bentuk ataupun isinya.
c.    Salah satu dari tahapan mempunyai kapasitas yang terbatas. (Budiningsih, 2005: 82)
Dari ketiga asumsi tersebut, dikembangkan teori tentang komponen struktural dan pengatur alur pemrosesan informasi (proses kontrol) antara lain:
1)   Sensory Receptor (SR)
Sensory Receptor (SR) merupakan sel tempat pertama kali informasi diterima dari luar. Didalam SR informasi ditangkap dalam bentuk asli, informasi hanya dapat bertahan dalam waktu yang sangat singkat, dan informasi tadi mudah terganggu atau berganti.
2)   Working Memory (WM)
Working Memory(WM) diasumsikan mampu menangkap informasi yang diberikan perhatian (attention) oleh individu. Pemberian perhatian ini dipengaruhi oleh peran persepsi. Karakter WM adalah bahwa:
·      Ia memiliki kapasitas yang terbatas, lebih kurang 7 slots. Informasi didalamnya hanya mampu bertahan kurang lebih 15 detik apabila tanpa pengulangan.
·      Informasi dapat disandi dalam bentuk yang berbeda dari stimulus aslinya.
3)   Long Term Memory (LTM)
Long Term Memory (LTM) diasumsikan: 1) berisi semua pengetahuan yang telah dimiliki oleh individu, 2) mempunyai kapasitas tidak terbatas, dan 3) bahwa sekali informasi disimpan dalam LTM ia tidak akan pernah terhapus atau hilang. Persoalan “lupa” pada tahapan ini disebabkan oleh kesulitan atau kegagalan memunculkan kembali informasi yang diperlukan. Ini berarti, jika informasi ditata dengan baik maka akan memudahkan proses penelusuran dan pemunculan kembali informasi jika diperlukan. Tennyson (1989) mengemukakan bahwa proses penyimpanan informasi merupakan proses mengasimilasikan pengetahuan baru pada pengetahuan yang dimiliki, yang selanjutnya berfungsi sebagai dasar pengetahuan. (Budiningsih, 2005: 84)


2.    Teori Belajar Menurut Beberapa Tokoh Aliran Sibernetik
a)   Teori Belajar Menurut Landa
Landa membedakan dua macam proses berfikir, yaitu proses berfikir algoritmik dan proses berfikir heuristik.
1)   Proses berfikir algoritmik, yaitu proses berfikir yang sistematis, tahap demi tahap, linier, konvergen, lurus menuju kesatu tujuan tertentu.
2)   Proses berfikir heuristik, yaitu cara berfikir devergen, menuju kebeberapa target tujuan  sekaligus (Budiningsih, 2005: 87).
Proses belajar akan berjalan dengan baik jika materi pelajaran yang hendak dipelajari atau masalah yang hendak di pecahkan diketahui ciri-cirinya. Materi pelajaran tertentu akan lebih tepat disajikan dalam urutan yang teratur, linier, sekuensial, sedangkan materi pelajaran lainnya akan lebih tepat bila disajikan dalam bentuk “terbuka” dan memberi kebebasan kepada siswa untuk berimajenasi dan berfikir.
b)   Teori Belajar Menurut Pask dan Scott
Pask dan scott juga termasuk penganut teori sibernetik. Menurut mereka ada dua macam cara berfikir, yaitu cara berfikir serialis dan cara berfikir wholist atau menyeluruh. Pendekatan serialis yang dikemukakannya memiliki kesamaan dengan pendekatan algoritmik. Namun apa yang dikatakan sebagai cara berfikir menyeluruh (wholist) tidak sama dengan cara berfikir heuristik. Bedanya, cara berfikir menyeluruh adalah berfikir yang cenderung melompat kedepan, langsung ke gambaran lengkap sebuah sistem informasi. Siswa tipe wholist dalam mempelajari sesuatu cenderung dilakukan dari tahap yang paling umum kemudian bergerak ke yang lebih khusus atau detail. Sedangkan siswa tipe serialist dalam mempelajari sesuatu cenderung menggunakan cara berfikir secara algoritmik. (Budiningsih, 2005: 88).
Teori sibernetik sebagai teori belajar sering kali dikritik karena tidak secara langsung membahas tentang proses belajar sehingga menyulitkan dalam penerapan. Ulasan teori ini cenderung ke dunia psikologi dan informasi dengan mencoba melihat mekanisme kerja otak. Dari model ini dikembangkan prinsip-prinsip belajar seperti:
a.    Proses mental dalam belajar terfokus pada pengetahuan yang bermakna.
b.    Proses mental tersebut mampu menyandi informasi secara bermakna.
c.    Proses mental bermuara pada pengorganisasian pengaktulisasian informasi.

3.    Aplikasi Teori Belajar Sibernetik Dalam Pembelajaran
Teori belajar pengolahan informasi termasuk dalam lingkup teori kognitif yang mengemukakan bahwa belajar adalah proses internal yang tidak dapat diamati secara langsung dan merupakan perubahan kemampuan yang terikat pada situasi tertentu. Belajar bukan sesuatu yang bersifat alamiah, namun terjadi dengan kondisi-kondisi tertentu, yaitu kondisi internal dan kondisi eksternal. Kondisi internal peserta didik yang mempengaruhi proses belajar melalui proses pengolahan informasi, dan yang sangat penting untuk diperhatikan oleh seorang guru dalam mengelola pembelajaran antara lain: (a) Kemampuan awal peserta didik, (b) Motivasi, (c) Perhatian, (d)Persepsi, (e) Ingatan, (f) Lupa, (g) Retensi, dan (h) Transfer.
Kondisi eksternal yang sangat berpangaruh terhadap proses belajar dengan proses pengolahan informasi antara lain:
a)    Kondisi belajar
Kondisi belajar dapat menyebabkan adanya modifikasi tingkah laku yang dapat dilihat sebagai akibat dari adanya proses belajar. Gagne (dalam Budiningsih, 2008: 89) mengklasifikasikan ada lima macam hasil belajar, yakni: (a) keterampilan intelektual, (b) strategi kognitif, (c) informasi verbal (d) keterampilan motorik, dan (e) sikap.
b)   Tujuan belajar
Tujuan belajar merupakan komponen sistem pembelajaran yang sangat penting, sebab komponen-komponen lain dalam pembelajaran harus bertolak dari tujuan belajar yang hendak dicapai dalam proses belajarnya.
c)    Pemberian umpan balik
Pemberian umpan balik merupakan suatu hal yang sangat penting bagi peserta didik, karena memberikan informasi tentang keberhasilan, kegagalan, dan tingkat kompetensinya.
Kelebihan strategi pembelajaran yang berpijak pada teori pemrosesan informasi adalah:
1.    Cara berfikir yang berorientasi pada proses lebih menonjol.
2.    Penyajian pengetahuan memenuhi aspek ekonomis.
3.    Kapabilitas belajar dapat disajikan lebih lengkap.
4.    Adanya keterarahan seluruh kegiatan belajar kepada tujuan yang ingin dicapai.
5.    Adanya transfer belajar pada lingkungan kehidupan yang sesungguhnya.
6.    Kontrol belajar memungkinkan belajar sesuai dengan irama masing-masing individu.
7.    Balikan informatif memberikan rambu-rambu yang jelas tentang tingkat unjuk kerja yang telah dicapai dibandingkan dengan unjuk kerja yang diharapkan.
Sedangkan kelemahan dari teori sibernetik adalah terlalu menekankan pada sistem informasi yang dipelajari, dan kurang memperhatikan bagaimana proses belajar.

No comments:

Post a Comment