BAB
II
PEMBAHASAN
A.
TEORI
BEHAVIORISTIK
1.
Pengertian
Belajar Menurut Teori Behavioristik
Menurut
teori behavioristik, belajar adalah perubahan tingkah laku
sebagai akibat dari adaya interaksi antara stimulus dan respon. Dengan kata
lain, belajar adalah perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk
bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus
dan respon. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika ia dapat menujukkan
perubahan tingkah lakunya. Menurut teori ini yang terpenting adalah masukan
atau input yang berupa stimulus dan
keluaran atau output yang berupa
respons. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada siswa misalnya
daftar perkalian, alat peraga, pedoman kerja, atau cara –cara tertentu, untuk
membantu belajar siswa. Sedangkan respons adalah reaksi atau tanggapan siswa terhadap
stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. (Asri Budiningsih, 2008:20)
Menurut
teori behavioristik, apa yang terjadi di antara stimulus dan respon dianggap
tidak penting diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur.
Yang dapat diamati hanyalah stimulus dan respon. Oleh sebab itu, apa saja yang
diberikan guru (stimulus), dan apa saja yang dihasilkan siswa (respon),
semuanya harus dapat diukur dan diamati. Faktor lain yang juga dianggap penting
oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement). Penguatan adalah apa saja yang dapat memperkuat
timbulnya respon. Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement)
maka respon akan semakin kuat. Begitu juga bila penguatan dikurangi (negative reinforcement) respon pun akan tetap
dikuatkan. Jadi penguatan merupakan suatu bentuk stimulus yang penting
diberikan (ditambahkan) atau dihilangkan (dikurangi) untuk memungkinkan
terjadinya respons. (Asri Budiningsih, 2008:21)
Tokoh
–tokoh aliran behavioristik diantaranya adalah Thorndike, Watson, Clark Hull,
Edwin Gutrie, dan Skinner. Pada dasarnya para penganut aliran behavioristik
setuju dengan pengertian belajar diatas, namun ada beberapa perbedaan pendapat
diantara mereka. Akan dibahas secara singkat karya para tokoh sebagai berikut:
a)
Thorndike
Teori Thorndike disebut juga
sebagai aliran Koneksionisme. Menurut teori ini, belajar adalah proses
interaksi antara stimulus dan respon. Jadi perubahan tingkah laku akibat
kegiatan belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau tidak
konkrit yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat
mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur
tingkah laku yang tidak dapat diamati. Ada tiga hukum belajar yang utama,
menurut Thorndike yakni (1) Hukum Kesiapan (law
of readiness), (2) Hukum Latihan (law
exercise), dan (3) Hukum Efek (law of
effect). http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_Belajar_Behavioristik
b)
Watson
Watson mendefinisikan belajar
sebagai proses interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus dan respon
yang dimaksud harus dapat diamati (observable) dan dapat diukur. Jadi walaupun
dia mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama
proses belajar, namun dia menganggap faktor tersebut sebagai hal yang tidak
perlu diperhitungkan karena tidak dapat diamati.
c)
Clark
Hull
Clark
Hull
juga menggunakan variabel hubungan antara stimulus dan respon untuk menjelaskan
pengertian belajar. Namun dia sangat terpengaruh oleh teori evolusi Charles
Darwin. Bagi Hull, seperti halnya teori evolusi, semua fungsi
tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga agar organisme tetap bertahan
hidup. Oleh sebab itu Hull mengatakan kebutuhan biologis (drive) dan pemuasan
kebutuhan biologis (drive reduction) adalah penting dan menempati posisi
sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus (stimulus dorongan)
dalam belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun
respon yang akan muncul mungkin dapat berwujud macam-macam. Penguatan tingkah
laku juga masuk dalam teori ini, tetapi juga dikaitkan dengan kondisi biologis.
d)
Edwin
Guthrie
Azas belajar Guthrie yang utama
adalah hukum kontiguiti. Yaitu gabungan stimulus-stimulus yang disertai suatu
gerakan, pada waktu timbul kembali cenderung akan diikuti oleh gerakan yang
sama (Bell, Gredler, 1991). Guthrie juga menggunakan variabel hubungan stimulus
dan respon untuk menjelaskan terjadinya proses belajar. Penguatan sekedar hanya
melindungi hasil belajar yang baru agar tidak hilang dengan jalan mencegah
perolehan respon yang baru. Guthrie juga percaya bahwa hukuman (punishment)
memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan pada saat
yang tepat akan mampu mengubah tingkah laku seseorang.
e)
Skinner
Konsep-konsep yang
dikemukanan Skinner tentang belajar lebih mengungguli konsep para tokoh
sebelumnya. Menurut Skinner respon yang diterima seseorang tidak sesederhana
itu, karena stimulus-stimulus yang diberikan akan saling berinteraksi dan
interaksi antar stimulus itu akan mempengaruhi respon yang dihasilkan. Respon
yang diberikan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi
inilah yang nantinya memengaruhi munculnya perilaku. Namun, Konsekuensi –
imbalan atau hukuman bersifat sementara pada perilaku organisme.
Menurut
Skinner, pengkondisian Operan terdiri dari 2 konsep utama,
yaitu : penguatan (reinforcement),
yang terbagi kedalam penguatan positif dan penguatan negative, dan hukuman (punishment). Penguatan
positiv (positeve reinforcement)
adalah apa saja stimulus yang dapat meningkatkan sesuatu tingkah laku.
Penguatan negativ (negative reinforcement)
apa saja stimulus yang menyakitkan atau yang menimbulkan keadaan tidak
menyenangkan atau tidak mengenakan perasaan sehingga dapat mengurangi
terjadinya sesuatu tingkah laku. Hukuman (punishment)
adalah apa saja stimulus yang menyebabkan sesuatu respon atau tingkah laku
menjadi berkurang atau bahkan langsung dihapuskan atau ditinggalkan.
2.
Analisis
Teori Behavioristik
Pandangan teori behavioristik telah cukup lama dianut oleh
para pendidik. Namun dari semua teori yang ada, teori Skinnerlah yang paling
besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar behavioristik. Teori
behavioristik banyak dikritik karena seringkali tidak mampu menjelaskan situasi
belajar yang kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan
pendidikan dan/atau belajar yang dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus
dan respon. Teori ini tidak mampu menjelaskan penyimpangan-penyimpangan yang
terjadi dalam hubungan stimulus dan respon.
Pandangan behavioristik juga kurang dapat menjelaskan adanya
variasi tingkat emosi pebelajar, walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan
yang sama. Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan pebelajar untuk
berfikir linier, konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif.
Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran
tergantung dari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi
pelajaran, karakteristik pebelajar, media dan fasilitas pembelajaran yang
tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behavioristik
memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah.
Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga
pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin.
Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan
pada penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagai aktivitas “mimetic”,
yang menuntut pebelajar untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah
dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Evaluasi belajar dipandang
sebagi bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan
setelah selesai kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada
kemampuan pebelajar secara individual.
B. TEORI
KOGNITIF
1.
Pengertian Belajar Menurut Teori
Kognitif
Teori
belajar kognitif lebih mementingkan proses belajar dari pada hasil belajarnya.
Para penganut aliran kognitif mengatakan bahwa belajar tidak sekedar melibatkan
hubungan antara stimulus dan respon. Belajar merupakan aktifitas yang
melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks. Dalam praktek pembelajaran,
teori kognitif antara lain tampak dalam rumusan- rumusan seperti: “Tahap- tahap
perkembangan” yang dikemukakan oleh J. Piaget, Advance organizer oleh
Ausubel, Pemahaman konsep oleh Bruner, Hirarkhi belajar oleh Gagne, Webteaching
oleh Norman, dan sebagainya. (DR. C.
Asri Budiningsih, 2008: 34)
Berdasarkan teori belajar kognitif,
belajar merupakan suatu proses terpadu yang berlangsung di dalam diri seseorang
dalam upaya memperoleh pemahaman dan struktur kognitif baru, atau untuk
mengubah pemahaman dan struktur kognitif lama.. Proses belajar dipandang
sebagai proses pengolahan informasi yang meliputi tiga tahap, yaitu perhatian (attention),
penulisan dalam bentuk simbol (encording), dan mendapatkan kembali
informasi (retrieval). Teori belajar kognitif ini dikembangkan oleh
beberapa orang ahli seperti Wallace, Engel dan Mooney, Jean Piaget, serta
Jerome S. Bruner( Depdiknas, 2004:8).
Dalam
pengolahan informasi, ada dua hal yang terlibat , yaitu siswa dengan aktif
memproses, menyimpan dan mendapatkan kembali informasi, dan pembelajaran (teaching)
yang merupakan upaya membantu siswa dalam mengembangkan keterampilan mengolah
informasi dan menggunakannya secara sistematis untuk menguasai kompetensi
tertentu. Keefektifan pembelajaran diantaranya dipengaruhi oleh bentuk belajar
yang ingin dimunculkan pada diri siswa. Mengajar merupakan suatu proses
menciptakan lingkungan yang dapat memberi kemungkinan terjadinya proses belajar
(Gagne & Briggs, 1988).
Dalam
konteks belajar, jenjang proses kognitif dimulai dari belajar yang paling
sederhana, yaitu keterampilan motorik, belajar sikap, dan belajar informasi
verbal, menuju kejenjang kompleks (keterampilan intelektual) yang meliputi
strategi kognitif, belajar konsep, dan belajar pemecahan masalah (Gredler,
1986). Dalam pespektif teori kognitif, belajar konsep, disamping berjenjang,
juga bersyarat. (Dra. Sumiati, Asra,
M.Ed. 2007: 47- 49)
2.
Teori Perkembangan Piaget
Piaget
adalah seorang tokoh psikologi kognitif
yang besar pengaruhnya terhadap perkembangan pemikiran para pakar kognitif
lainnya. Menurut Piaget, perkembangan kognitif merupakan suatu proses genetik.
Piaget tidak melihat perkembangan kognitif sebagai sesuatu yang dapat
didefinisikan secara kuantitatif. Ia menyimpulkan bahwa daya pikir atau
kekuatan mental anak yang berbeda usia akan berbeda pula secara kualitatif.
Proses adaptasi mempunyai dua bentuk, yaitu asimilasi dan akomodasi. Menurut
Piaget, proses belajar akan terjadi jika mengikuti tahap- tahap asimilasi,
akomodasi dan ekuilibrasi (penyeimbangan). Agar seseorang dapat terus mengembangkan
dan menambah pengetahuannya sekaligus menjaga stabilitas mental dalam dirinya,
maka diperlukan proses penyeimbangan. Proses yang menyeimbangkan antara
lingkungan luar dengan struktur kognitif yang ada dalam dirinya. Proses inilah
yang disebut ekuilibrasi. Tanpa proses ekuilibrasi, perkembangan kognitif
seseorang akan mengalami gangguan dan tidak teratur (disorganized).
Piaget membagi tahap- tahap perkembangan kognitif ini menjadi empat yaitu:
a. Tahap
sensorimotor (umur 0- 2 tahun)
Ciri pokok perkembangannya
berdasarkan tindakan, dan dilakukan langkah demi langkah.
b. Tahap
preoperasional (umur 2- 7/8 tahun)
Ciri pokok perkembangan pada tahap
ini adalah pada penggunaan symbol atau bahasa tanda, dan mulai berkembangnya
konsep- konsep intuitif. Tahap ini dibagi menjadi dua, yaitu preoperasional dan
intuitif.
c. Tahap
operasional konkret (umur 7 atau 8- 11 atau 12 tahun)
Ciri pokok perkembangan pada tahap
ini adalah anak sudah mulai menggunakan aturan- aturan yang jelas dan logis,
dan ditandai adanya kekekalan.
d. Tahap
operasional formal (umur 11/12- 18 tahun)
Ciri pokok perkembangan pada tahap
ini adalah anak sudah mampu berfikir abstrak dan logis dengan menggunakan pola
berpikir “kemungkinan”. (DR. C. Asri Budiningsih, 2008: 35- 39)
3.
Teori Belajar Menurut Bruner
Jerome
Bruner (1966) adalah seorang pengikut setia tori kognitif, khususnya dalam
studi perkembangan fungsi kognitif. Dalam memandang proses belajar, Bruner
menekankan adanya pengaruh kebudayaan terhadap tingkah laku seseorang. Dengan
teorinya yang disebut free discovery
learning, ia mengatakan bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik dan
kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu
konsep, teori, aturan, atau pemahaman melalui contoh- contoh yang ia jumpai
dalam kehidupannya. Bruner menyatakan bahwa perkembangan bahasa besar
pengaruhnya terhadap perkembangan kognitif.
Menurut
Bruner perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui tiga tahap yang
ditentukan oleh caranya melihat lingkungan, yaitu:
1) Tahap
enaktif, seseorang melakukan aktivitas- aktivitas dalam upayanya untuk memahami
lingkungan sekitarnya.
2) Tahap
ikonik, seseorang memahami objek- objek atau dunianya melalui gambar dan
visualissi verbal.
3) Tahap
simbolik, seseorang telah mampu memiliki
ide- ide atau gagasan- gagasan abstrak yang sangat dipengaruhi oleh
kemampuannya dalam berbahasa dan logika.
Cara
yang baik untuk belajar adalah memahami konsep, arti dan hubungan melalui
proses intuitif untuk akhirnya sampai kepada kesimpulan (discovery
learning). (DR. C. Asri Budiningsih,
2008: 40- 43)
4.
Teori Belajar Bermakna Ausubel
Advance
organizers yang juga dikembangkan oleh Ausubel
merupakan penerapan konsepsi tentang struktur kognitif didalam merancang
pembelajaran. Penggunaan advance organizers sebagai kerangka isi akan
dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam mempelajari informasi baru, karena
merupakan kerangka dalam bentuk abstraksi atau ringkasan konsep- konsep dasar
tentang apa yang dipelajari, dan hubungannya dengan materi yang telah ada dalam
struktur kognitif siswa. Jika ditata dengan baik, advance organizers akan
memudahkan siswa mempelajari materi pelajaran yang baru, serta hubungannya
dengan materi yang telah dipelajarinya.
Berdasarkan
pada konsepsi organisasi kognitif seperti yang dikemukakan oleh Ausubel
tersebut, dikembangkanlah oleh para pakar teori kognitif suatu model yang lebih
eksplisit yang disebut dengan skemata.
Beberapa
pemikiran ke arah penataan isi bidang studi atau materi pelajaran sebagai
strategi pengorganisasian isi pembelajaran yang berpijak pada teori kognitif,
dikemukakan secara singkat sebagai berikut (Degeng, 1989)
a)Hirarkhi
belajar, b)Analisis tugas, c)Subsumptive sequence,
d)Kurikulum
spiral, e)Teori Skema, f)Webteaching, g)Teori Elaborasi.
5. Aplikasi Teori Kognitif Dalam
Pembelajaran
a. Memberi
kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya.
b. Memberi
kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya.
c. Memberi
kesempatan kepada siswa untuk memncoba gagasan baru.
d. Memberi
pengalaman yang berhubungan dengan gagasan siswa
e. Mendorong
siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka.
f. Menciptakan
lingkungan yang kondusif.
Kelebihan dan
Kelemahan dalam Teori Belajar Kognitif:
1. Kelebihan
Teori Belajar Kognitif: Dapat meningkatkan kemampuan siswa untuk memecahkan
masalah (problem solving), dapat meningkatkan motivasi.
2. Kekurangan
Teori Belajar Kognitif: Tidak dapat diukur hanya dengan satu orang siswa saja ,
maksudnya kemampuan siswa harus diperhatikan.
C.
TEORI
KONSTRUKTIVISTIK
Pendekatan
konstrutivistik dikemukakan oleh Gagnon dan Collay (2001) yang mengemukakan
bahwa “…pendekatan konstruktivistik merujuk kepada asumsi bahwa manusia
mengembangkan dirinya dengan cara melibatkan diri baik dalam kegiatan secara
personal maupun social dalam membangun ilmu pengetahuan.”(p.10). Dalam rangka
memahami cara manusia mengkonstruksi pengetahuannya tentang objek-objek dan
peristiwa-peristiwa yang dijumpai selama kehidupannya. Manusia akan mencari dan
menggunakan hal-hal atau peralatan yang dapat membantu memahami pengalamannya.
Demikian juga, manusia akan mengkonstruksi dan membentuk pengetahuan mereka
sendiri. Pengetahuan seseorang merupakan konstruksi dari dirinya.
Asal kata
konstruktivisme yaitu “to construct” yang berarti “membentuk”.
Konstruktivisme adalah salah satu aliran filsafat yang mempunyai pandangan
bahwa pengetahuan yang kita miliki adalah hasil konstruksi atau bentukan diri
kita sendiri. Menurut teori
konstruktivistik, pengetahuan bukanlah sesuatu yang sudah ditentukan,
melainkan sesuatu proses pembentukan yang terus menerus oleh seseorang yang setiap
saat mengalami reorganisasi karena adanya pemahaman-pemahaman baru.
Pandangan Piaget
tentang bagaimana sebenarnya pengetahuan itu terbentuk dalam struktur kognitif
anak, sangat berpengaruh terhadap beberapa model pembelajaran diantaranya model
pembelajaran konstekstual. Menurut pembelajaran konstekstual, pengetahuan itu
akan bermakna manakala ditentukan dan dibangun sendiri oleh siswa. Pengetahuan
yang diperoleh dari hasil pemberitahuan orang lain, tidak akan menjadi
pengetahuan yang bermakna. Pengetahuan yang demikian akan mudah dilupakan dan
tidak fungsional.
a.
Proses Belajar Konstruktivistik.
Proses
belajar disini bukan sebagai perolehan informasi yang berlangsung satu arah
dari luar ke dalam diri siswa, melainkan sebagai pemberian makna cara oleh siswa
kepada pengalamannya melalui proses asimilasi dan akomodasi. Peristiwa belajar
akan berlangsung lebih efektif jika siswa berhubungan langsung dengan objek
yang sedang dipelajari dan ada di lingkungan sekitar. Oleh sebab itu,
pengelolaan pembelajaran harus diutamakan pada pengelolaan siswa dalam
memproses gagasannya, bukan semata-mata pada pengelolaan siswa dan lingkungan
belajarnya bahkan pada unjuk kerja atau prestasi belajarnya yang dikaitkan
dengan system penghargaan dari luar seperti nilai, ijazah, dan sebagainya.
b.
Peranan Siswa (Si-Belajar).
Menurut
pandangan konstruktivistik, belajar merupakan suatu proses pembentukan
pengetahuan. Pembentukan ini harus dilakukan oleh si belajar. Ia harus aktif
melakukan kegiatan, aktif berfikir, menyusun konsep dan memberi makna tentang
hal-hal yang sedang dipelajari. Guru memang dapat dan harus mengambil prakarsa
untuk menata lingkungan yang memberi peluang optimal bagi terjadinya belajar.
Namun yang akhirnya paling menentukan terwujudnya gejala belajar adalah niat
belajar siswa sendiri. Dengan istilah lain, dapat dikatakan bahwa hakekatnya
kendali belajar sepenuhnya ada pada siswa.
c.
Peranan Guru.
Dalam
belajar kontruktivistik guru atau pendidik berperan membantu agar proses
pengkonstruksian pengetahuan oleh siswa belajar lancar. Guru tidak
menstransferkan pengetahuan yang telah dimilikinya, melainkan membantu siswa
untuk membentuk pengetahuannya sendiri. Berdasarkan pandangan ini, tugas
seorang guru atau instruktur adalah menciptakan lingkungan belajar yang sering
diistilahkan sebagai “scenario of problems”,yang mencerminkan adanya
pengalaman belajar yang nyata dan dapat diaplikasikan dalam sebuah situasi yang
sesungguhnya.
d.
Sarana Belajar.
Pendekatan
konstruktivistik menekankan bahwa peranan utama dalam kegiatan belajar adalah
aktifitas siswa dalam mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Segala sesuatu
seperti bahan, media, peralatan, lingkungan, dan fasilitas lainnya disediakan
untuk membantu pembentukan tersebut. Siswa diberi kebebasan untuk mengungkapkan
pendapat dan pemikirannya tentang sesuatu yang dihadapinya. Dengan cara
demikian, siswa akan terbiasa dan terlatih untuk berpikir sendiri, memecahkan
masalah yang dihadapinya, mandiri, kritis, kreatif, dan mampu mempertanggung
jawabkan pemikirannya secara rasional.
e.
Evaluasi
Belajar
Pandangan
konstruktivistik mengemukakan bahwa lingkungan belajar sangat mendukung
munculnya berbagai pandangan dan interpretasi terhadap realitas, konstruksi
pengetahuan serta aktivitas –aktivitas lain yang didasarkan pada pengalaman.
Evaluasi yang digunakan untuk menilai hasil
belajar konstruktivistik, memerlukan proses pengalaman kognitif bagi
tujuan –tujuan konstruktivistik.
Bentuk
–bentuk evaluasi konstruktivistik dapat diarahkan pada tugas –tugas autentik,
mengkonstruksi pengetahuan yang menggambarkan proses berpikir yang lebih
tinggi, mengkonstruksi pengalaman siswa, dan mengarahkan evaluasi pada konteks
yang luas dengan berbagai perspektif.
Tujuan teori
konstruktivistik dalam pembelajaran adalah agar siswa memiliki kemampuan dalam
menemukan, memahami, dan menggunakan informasi atau pengetahuan yang
dipelajari.
Tokoh-tokoh
pendidik yang menggagas teori konstruktivisstik dalam pembelajaran antara lain
John Dewel, Jean Piaget, Maria Montessori, dan Lev Vigotsky. Menurut mereka,
pada dasarnya seseorang adalah pencipta pengetahuannya sendiri. Dalam membangun
pengetahuan tersebut individu melakukan beberapa kegiatan yang bersifat
esensial antara lain mengajukan pertanyaan, menggali pengetahuan dan menguji
pengetahuan yang telah dipelajari.
D.
TEORI
HUMANISTIK.
1.
Teori
Belajar Humanistik
Selain
teori belajar behafioristik dan teori kognitif, teori balajar humanistic juga
penting dipahami. Menurut teori humanistic, proses belajar harus dimulai dan
ditujukan untuk kepentingan memanusiakan manusia itu sendiri. Teori humanistic
sifatnya lebih abstrak dan lebih mendekati bidang kajian filsafat, teori
kepribadian dan psikoterapi, dari pada bidang kajian psikologi belajar. Teori
humanistic sangat mementingkan isi yang dipelajari dari pada proses belajar itu
sendiri. Teori belajar ini lebih banyak berbicara tentang konsep-konsep
pendidikan untuk membentuk manusia yang dicita-citakan serta proses belajar
dalam bentuknya yang paling ideal.
Pemahaman
terhadap belajar yang diidealkan menjadikan teori balajar humanistic dapat
mamanfaatkan teori apapun asal tujuannya untuk mamanusiakan manusia. Hal ini
menjadikan eri humanistic bersifat sangat eklektik.dalam arti ini eklektisisme
bukanlah suatu system dengan membiarkan unsur-unsur tersebut dalam keadaan
sebagaimana adanya atau aslinya. Dengan demikian teori humanstik dengan
pandangannya yang aklektik yaitu dengan cara memanfaatkan atau merangkumkan
berbagai teori belajar dengan tujuan untuk memanusiakan manusia bukan saja
mungkin untuk dilakukan, tapi justru harus dilakukan.
2.
Tokoh-Tokoh
Penganut Aliran Humanistic
a.
Kolb
seorang ahli penganut teori humanistic membagi tahap-tahap belajar menjadi 4
yaitu:
1.
Tahap pengalaman konkret
Pada tahap paling awal dalam
peristiwa belajar adalah seseorang mampu atau dapat mengalami suatu peristiwa
atau suatu kejadian sebagaimana adanya.
2.
Tahap pengalaman aktif dan reflektuf
Tahap kedua dalam peristiwa belajar
adalah bahwa sseorang makin lama akan semakin mampu melakukan ovbservasi secara
aktif terhadap peristiwa yang dialaminya.
3.
Tahap konseptualisasi
Tahap ketiga dalam peristiwa
belajar adalah seseorang sudah mulai berupaya untuk membuat abstraksi,
mengembangkan suatu teori, konsep atau hukum dan prosedur yang menjadi objek
perhatiannya.
4.
Tahap eksperimentasi aktif.
Tahap terakhir adalah melakukan
eksperimentasi aktif. Seseorang sudah mampu mengaplikasikan konsep-konsep,
teori –teori atau aturan –aturan ke dalam situasi nyata.
b.
Honey
dan Mumford menggolongkan orang-orang yang belajar menjadi 4 golongan:
1.
Kelompok aktifis, adalah kelompok orang
–orang yang senang melibatkan diri dan berpartisipasi aktif dalam berbagai
kegiatan dengan tujuan untuk memperoleh pengalaman –pengalaman baru.
2.
Kelompok reflector, adalah mereka yang
mempunyai kecendurangan berlawanan dengan mereka yang termasuk kelompok
aktivis.
3.
Kelompok teoris, adalah mereka yang
mempunyai kecenderungan sangat kritis, suka menganalisis, selalu berfikir
rasional dengan menggunakan penalarannya.
4.
Kelompok pragmatis, adalah mereka yang
memiliki sifat –sifat praktis, tidak suka berpanjang lebar dengan teori –teori,
konsep –konsep, dalil –dalil dan sebagainya.
c. Habermas
Beliau berpendapat bahwa belajar
baru akan terjadi jika ada interaksi Antara indifidu dengan lingkungannya.
Dengan pandangan yang demikian, ia membagi tipe belajar menjadi 3,yaitu:
1.
Belajar teknis(technical learning), yaitu
belajar bagaimana seseorang dapat berinteraksi dengan lingkungan alamnya secara
benar.
2.
Belajar praktis(practical learning), belajar
bagaimana seseorang dapat berinteraksi dengan lingkungan sosialnya, yaitu dengan
orang –orang disekelilingnya dengan baik.
3.
Belajar emansipatoris(emancipatori
learning), menekankan upaya agar seseorang mencapai suatu pemahaman dan
kesadaran yang tinggi akan terjadinya perubahan atau transformasi budaya dalam
lingkungan sosialnya.
d.
Bloom
dan Krathwohl
Bloom dan krathwohl juga termasuk
penganut aliran humanistic. Mereka lebih menekankan perhatiannya pada apa yang
mesti dikuasai oleh individu (sebagai tujuan belajar). Tujuan belajar yang
dikemukakannya diragkum kedalam tiga kawasan yang dikenal denagn taksonomi
Bloom. Tiga kawasan dalam taksonomi Bloom tersebut adalah:
1. Domain
kognitif,terdiri atas 6 tingkatan,yaitu:
a) Pengetahuan(mengingat
dan menghafal)
b) Pemahaman(mengintrepretasikan)
c) Apliksi(menggunakan
konsep untuk memecahkkan masalah)
d) Analisis(menjabarkan
suatu konsep)
e) Sintesis(menggabungkan
bagian-bagian konsep menjadi satu bagian utuh)
f) Evaluasi(membagikan nilai-nilai,ide,metode
dsb)
2. Domain
psikomotor,terdiri atas 5 tingkatan,yaitu:
a) Peniruan(menirukan
gerak)
b) Penggunaan(menggunakan
konsep untuk menirukan gerak)
c) Ketepatan(menirukan
gerak dengan benar)
d) Perangkaian(melakukan
beberapa gerak sekaligus dengan benar)
e) Naturalisasi(melakukan
gerak secara wajar)
3. Domain
efektif,yang terdiri dari 5 tingkatan,yaitu:
a) Pengenalan(ingin
menerima,sadar akan adanya sesuatu)
b) Merespon(aktifberpartisipasi)
c) Penghargaan
(menerima nilai-nilai,setia kepada nilai-nilaitertentu)
d) Pengorganisasian
(menghubung-hubungkan nilai-nilai yang dipercayainya)
e) Pengamalan(menjadikan
nilai-nilai sebagai bagian dari pola hidupnya)
3.
Aplikasi
teori belajar Humanistik dalam pembelajaran
Teori
humanistik sering dikritik karena sukar diterapkan dalam konteks yang lebih
praktis. Teori ini dianggap lebih dekat dengan bidang filsafat, teori
kerpibadian dan psikoterapi dari pada bidang pendidikan, sehingga sukar
menterjemahkannya ke dalam langkah –langkah yang lebih konkret dan praktis.
Namun, karena sifatnya yang ideal, yaitu memanusiakan manusia, maka teori
humanistik mampu memberikan arah terhadap semua komponen pembelajaran untuk mendukung
tercapainya tujuan tersebut.
Teori
humanistik akan sangat membantu para pendidik dalam memahami arah belajar pada
dimensi yang lebih luas, sehingga upaya pembelajaran apapun dan pada konteks
manapun akan selalu diarahkan dan ditujukan untuk mencapai tujuannya. Dalam
prakteknya teori humanistik ini cenderung mengarahkan siswa untuk berfikir
induktif, mementingkan pengalaman, serta membutuhkan keterlibatan siswa secara
aktif dalam proses belajar.
E.
TEORI
SIBERNETIK
1.
Pengertian
Belajar Menurut Teori Sibernetik
Teori belajar sibernetik merupakan
teori belajar yang relatif baru dibandingkan dengan teori-teori belajar yang
sudah dibahas sebelumnya. Teori ini berkembang sejalan dengan perkembangan
teknologi dan ilmu informasi. Menurut teori sibernetik, belajar adalah
pengolahan informasi. Seolah-olah teori ini mempunyai kesamaan dengan teori
kognitif yaitu mementingkan proses belajar daripada hasil belajar. Proses
belajar memang penting dalam teori sibernetik, namun yang lebih penting lagi
adalah sistem informasi yang diproses yang akan dipelajari siswa. (Asri Budiningsih, 2008: 81)
Asumsi lain dari teori sibernetik
adalah bahwa tidak ada satu proses belajarpun yang ideal untuk segala situasi,
dan yang cocok untuk semua siswa. Sebab cara belajar sangat ditentukan oleh
sistem informasi. Sebuah informasi mungkin akan dipelajari oleh seorang siswa
dengan satu macam proses belajar, dan informasi yang sama mungkin akan
dipelajari siswa lain melalui proses belajar yang berbeda.
Dalam upaya menjelaskan bagaimana
suatu informasi (pesan pengajaran) diterima, disandi, disimpan, dan dimunculkan
kembali dari ingatan serta dimanfaatkan jika diperlukan, telah dikembangkan
sejumlah teori dan model pemrosesan informasi oleh Snowman (1986); Baine
(1986); dan Tennyson (1989). Teori-teori tersebut umumnya berpijak pada asumsi:
a. Bahwa antara stimulus dan respon
terdapat suatu seri tahapan pemrosesan informasi dimana pada masing-masing
tahapan dibutuhkan waktu tertentu.
b. Stimulus yang diproses melalui
tahapan-tahapan tadi akan mengalami perubahan bentuk ataupun isinya.
c. Salah satu dari tahapan mempunyai
kapasitas yang terbatas. (Budiningsih,
2005: 82)
Dari
ketiga asumsi tersebut, dikembangkan teori tentang komponen struktural dan
pengatur alur pemrosesan informasi (proses kontrol) antara lain:
1)
Sensory Receptor (SR)
Sensory Receptor (SR) merupakan sel
tempat pertama kali informasi diterima dari luar. Didalam SR informasi
ditangkap dalam bentuk asli, informasi hanya dapat bertahan dalam waktu yang
sangat singkat, dan informasi tadi mudah terganggu atau berganti.
2)
Working Memory (WM)
Working Memory(WM) diasumsikan mampu
menangkap informasi yang diberikan perhatian (attention) oleh individu.
Pemberian perhatian ini dipengaruhi oleh peran persepsi. Karakter WM adalah
bahwa:
· Ia memiliki kapasitas yang terbatas,
lebih kurang 7 slots. Informasi didalamnya hanya mampu bertahan kurang lebih 15
detik apabila tanpa pengulangan.
· Informasi dapat disandi dalam bentuk
yang berbeda dari stimulus aslinya.
3)
Long Term Memory (LTM)
Long Term Memory (LTM) diasumsikan:
1) berisi semua pengetahuan yang telah dimiliki oleh individu, 2) mempunyai
kapasitas tidak terbatas, dan 3) bahwa sekali informasi disimpan dalam LTM ia
tidak akan pernah terhapus atau hilang. Persoalan “lupa” pada tahapan ini
disebabkan oleh kesulitan atau kegagalan memunculkan kembali informasi yang
diperlukan. Ini berarti, jika informasi ditata dengan baik maka akan memudahkan
proses penelusuran dan pemunculan kembali informasi jika diperlukan. Tennyson
(1989) mengemukakan bahwa proses penyimpanan informasi merupakan proses
mengasimilasikan pengetahuan baru pada pengetahuan yang dimiliki, yang
selanjutnya berfungsi sebagai dasar pengetahuan. (Budiningsih, 2005: 84)
2.
Teori
Belajar Menurut Beberapa Tokoh Aliran Sibernetik
a)
Teori
Belajar Menurut Landa
Landa membedakan dua macam proses berfikir, yaitu proses
berfikir algoritmik dan proses berfikir heuristik.
1) Proses berfikir algoritmik, yaitu
proses berfikir yang sistematis, tahap demi tahap, linier, konvergen, lurus
menuju kesatu tujuan tertentu.
2) Proses berfikir heuristik, yaitu
cara berfikir devergen, menuju kebeberapa target tujuan sekaligus
(Budiningsih, 2005: 87).
Proses
belajar akan berjalan dengan baik jika materi pelajaran yang hendak dipelajari
atau masalah yang hendak di pecahkan diketahui ciri-cirinya. Materi pelajaran
tertentu akan lebih tepat disajikan dalam urutan yang teratur, linier,
sekuensial, sedangkan materi pelajaran lainnya akan lebih tepat bila disajikan
dalam bentuk “terbuka” dan memberi kebebasan kepada siswa untuk berimajenasi
dan berfikir.
b)
Teori
Belajar Menurut Pask dan Scott
Pask dan scott juga termasuk penganut teori sibernetik.
Menurut mereka ada dua macam cara berfikir, yaitu cara berfikir serialis dan cara berfikir wholist
atau menyeluruh. Pendekatan serialis
yang dikemukakannya memiliki kesamaan dengan pendekatan algoritmik. Namun apa
yang dikatakan sebagai cara berfikir menyeluruh (wholist) tidak sama
dengan cara berfikir heuristik. Bedanya, cara berfikir menyeluruh adalah
berfikir yang cenderung melompat kedepan, langsung ke gambaran lengkap sebuah
sistem informasi. Siswa tipe wholist dalam mempelajari sesuatu cenderung
dilakukan dari tahap yang paling umum kemudian bergerak ke yang lebih khusus
atau detail. Sedangkan siswa tipe serialist dalam mempelajari sesuatu
cenderung menggunakan cara berfikir secara algoritmik. (Budiningsih, 2005: 88).
Teori sibernetik sebagai teori belajar sering kali dikritik
karena tidak secara langsung membahas tentang proses belajar sehingga
menyulitkan dalam penerapan. Ulasan teori ini cenderung ke dunia psikologi dan
informasi dengan mencoba melihat mekanisme kerja otak. Dari model ini
dikembangkan prinsip-prinsip belajar seperti:
a. Proses mental dalam belajar terfokus
pada pengetahuan yang bermakna.
b. Proses mental tersebut mampu
menyandi informasi secara bermakna.
c. Proses mental bermuara pada
pengorganisasian pengaktulisasian informasi.
3.
Aplikasi
Teori Belajar Sibernetik Dalam Pembelajaran
Teori belajar pengolahan informasi
termasuk dalam lingkup teori kognitif yang mengemukakan bahwa belajar adalah proses
internal yang tidak dapat diamati secara langsung dan merupakan perubahan
kemampuan yang terikat pada situasi tertentu. Belajar bukan sesuatu yang
bersifat alamiah, namun terjadi dengan kondisi-kondisi tertentu, yaitu kondisi
internal dan kondisi eksternal. Kondisi internal peserta didik yang
mempengaruhi proses belajar melalui proses pengolahan informasi, dan yang
sangat penting untuk diperhatikan oleh seorang guru dalam mengelola
pembelajaran antara lain: (a) Kemampuan awal peserta didik,
(b) Motivasi, (c) Perhatian, (d)Persepsi, (e) Ingatan, (f) Lupa, (g) Retensi, dan (h) Transfer.
Kondisi
eksternal yang sangat berpangaruh terhadap proses belajar dengan proses
pengolahan informasi antara lain:
a) Kondisi belajar
Kondisi
belajar dapat menyebabkan adanya modifikasi tingkah laku yang dapat dilihat
sebagai akibat dari adanya proses belajar. Gagne (dalam Budiningsih, 2008: 89)
mengklasifikasikan ada lima macam hasil belajar, yakni: (a) keterampilan
intelektual, (b) strategi kognitif, (c) informasi verbal (d) keterampilan
motorik, dan (e) sikap.
b) Tujuan belajar
Tujuan
belajar merupakan komponen sistem pembelajaran yang sangat penting, sebab
komponen-komponen lain dalam pembelajaran harus bertolak dari tujuan belajar
yang hendak dicapai dalam proses belajarnya.
c) Pemberian umpan balik
Pemberian
umpan balik merupakan suatu hal yang sangat penting bagi peserta didik, karena
memberikan informasi tentang keberhasilan, kegagalan, dan tingkat
kompetensinya.
Kelebihan strategi pembelajaran yang
berpijak pada teori pemrosesan informasi adalah:
1. Cara berfikir yang berorientasi pada
proses lebih menonjol.
2. Penyajian pengetahuan memenuhi aspek
ekonomis.
3. Kapabilitas belajar dapat disajikan
lebih lengkap.
4. Adanya keterarahan seluruh kegiatan
belajar kepada tujuan yang ingin dicapai.
5. Adanya transfer belajar pada
lingkungan kehidupan yang sesungguhnya.
6. Kontrol belajar memungkinkan belajar
sesuai dengan irama masing-masing individu.
7. Balikan informatif memberikan
rambu-rambu yang jelas tentang tingkat unjuk kerja yang telah dicapai dibandingkan
dengan unjuk kerja yang diharapkan.
Sedangkan kelemahan dari teori sibernetik adalah terlalu
menekankan pada sistem informasi yang dipelajari, dan kurang memperhatikan
bagaimana proses belajar.
No comments:
Post a Comment