Tuesday, October 1, 2013

cerpen terjemahan


Mawar emas
Oleh Konstantin Paustovsky (Rusia)
Dialihbahasakan oleh Victor A. Pogadaev



Sastra dicabut daripada hukum mereput.
Hanya sastra menolak kematian.
Saltikov-Shedrin[1][1]
Selalu patutlah mencita-citakan hal yang indah.
Onore Balzak[2][2]
Saya tidak ingat lagi bagaimana saya mengetahui kisah tentang tukang sapu Paris Jean Chamet itu. Jean mencari nafkah hidup dengan menyapu bengkel-bengkel perajin tangan di kawasan kotanya.
Chamet tinggal di sebuah pondok kecil di pinggiran kota. Tentu saya bisa mengisahkan pinggiran itu dan dengan demikian mengalihkan perhatian para pembaca daripada jalan utama cerita. Tetapi patutlah kiranya hanya menyebut di sini bahwa sampai sekarang di pinggiran Paris kekal tembok tanah daripada kubu lama. Pada masa berlakunya cerita itu, tembok itu masih ditumbuhi dengan belukar dan pohon-pohon kecil tempat burung bersarang.
Pondok tukang sapu itu rapat dengan kaki tembok tanah utara berhampiran dengan pondok-pondok tukang besi, tukang sepatu, pengumpul puntung rokok dan pengemis.
Sekiranya Maupassant[3][3] tertarik oleh kehidupan penghuni pondok-pondok itu, mungkin dia sempat menulis beberapa lagi cerita yang indah. Mungkin cerita itu menambah kemasyurannya yang sedia ada.
Malangnya orang luar tidak menjengok ke tempat itu kecuali anggota polisi. Tetapi mereka pun datang hanya bila mencari barang-barang curian.
Para tetangga menjuluki Chamet dengan nama “burung belatuk”. Kiranya dia itu kurus melidi, berhidung mancung, dengan jambul rambut yang selalu tampak daripada bawah topinya dan yang serupa dengan mahkota burung.
Ada masa ketika Jean Chamet menempuh hidup yang lebih baik. Dia pernah berdinas sebagai serdadu di tentara “Napoleon Kecil”[4][4] selama perang Mexico[5][5].
Chamet beruntung. Di Vera Crux[6][6] dia mengidap demam teruk. Serdadu sakit itu yang belum menyertai satu pun tembak-menembak yang serius dikembalikan ke tanah airnya. Komandan resimen menggunakan peluang itu dan meminta Chamet membawa anak perempuannya Suzanne yang berusia delapan tahun ke Perancis.
Komandan resimen itu ialah duda dan karena itu terpaksa membawa anaknya bersama ke mana-mana pun. Tetapi kali ini dia mengambil keputusan berpisah dengan anaknya dan mengantarkannya kepada adik perempuannya di Rouen[7][7]. Iklim Mexico ialah sangat merugikan bagi kesehatan anak Eropa. Tambahan pula perang gerilya yang kucar-kacir menimbulkan banyak bahaya yang tak diduga.
Selama perjalanan pulang Chamet ke Perancis. Samudera Atlantik diselubungi panas terik. Gadis itu selalu diam membisu. Bahkan ikan yang meloncat dari air yang berminyak dilihatnya tanpa senyum di bibir.
Chamet menjaga Suzanne sebisa-bisanya. Tentu dia mengerti bahwa anak itu memerlukan bukan saja jagaan tetapi kasih sayang juga. Tetapi dari mana dia, serdadu tentara kolonial bisa mendapati kasih sayang itu dan menghiburkan hati gadis itu? Pasti bukan dengan permainan terup atau lelucon kasar tentara.
Akan tetapi tidak patutlah juga selalu mendiam saja. Chamet semakin sering menangkap pandangan hampa gadis itu. Akhirnya dia menguatkan hatinya dan mulai dengan tak teratur menceritakan tentang kehidupannya dengan mengingat sampai terperinci kampung nelayan di pantai La Manche[8][8], pasir jerlus, lumpur selepas pasang surut, gereja kecil kampung dengan lonceng pecah, ibunya yang merawat tetangga daripada rasa pedih di perut.
Dalam kenangan itu Chamet tidak sempat menemui sesuatu yang bisa menghiburkan Suzanne. Tetapi heran juga gadis itu mendengar kisahnya dengan penuh perhatian dan bahkan meminta mengulangkannya dengan perincian yang baru.
Chamet memerah otak dan menceduk perincian itu sehingga akhirnya dia sendiri tidak pasti apakah perincian itu benar-benar ada dalam kenyataan. Kenangan itu baginya bukan kenangan lagi tetapi bayangannya tipis saja. Bayangan itu lambat laun hilang seperti kabus reda. Benar juga Chamet tak pernah memikirkan bahwa pada suatu hari dia akan terpaksa mengenang kembali peristiwa lama itu.
Pada suatu hari timbul kenangan samar tentang mawar emas. Apakah Chamet sendiri pernah melihat mawar kasar itu yang ditempa daripada emas menghitam dan tergantung pada salib di rumah nelayan perempuan tua atau pernah dengar cerita tentang mawar itu dari orang sekitarnya.
Ya, kiranya sekali dia bahkan melihat mawar itu dan ingat bagaimana ianya gemerdipan meskipun hari gelap dan badai suram berkecamuk di selat. Makin lama makin jelas Chamet ingat gemerdipan itu: beberapa percikan api yang terkilau di bawah atap rumah yang rendah.
Setiap penduduk kampung heran mengapa perempuan tua itu tidak mau menjual barang berharga itu. Dia bisa mendapat uang besar baginya. Hanya seorang saja yakni ibu Chamet meyakinkan semua bahwa menjual mawar emas ialah berdosa karena mawar itu dihadiahkan kepada perempuan tua oleh kekasihnya demi kebahagiaan. Masa itu perempuan tua masih gadis lucu yang bekerja di kilang sardin di Odierne[9][9].
- Mawar emas macam itu tak banyak jumlahnya, - begitu ibu Chamet. – Tetapi mereka yang mempunyainya pasti akan berbahagia. Dan bukan mereka saja melainkan semua yang menyentuhnya.
Chamet dengan tak sabar menunggu kapankah perempuan tua itu mendapat kebahagiaan. Akan tetapi tidak tampak sebarang petanda kebahagiaan pun. Rumah perempuan itu goyang ditiup angin dan pada malam hari tak pernah tampak api di dalamnya.
Akhirnya Chamet pindah ke tempat lain dengan tak sempat melihat perubahan dalam nasib perempuan tua itu. Hanya satu tahun kemudian seorang kenalannya yakni tukang api dari kapal pos di Le Havre[10][10] menceritakan bahwa anak lelaki perempuan itu, pelukis berjanggut, periang dan lucu perangainya tiba-tiba datang dari Paris dan menetap bersama ibunya. Sejak itu rumahnya berubah sama sekali. Kehidupan di sana menjadi kaya raya dan gembira. Pelukis, katanya, mendapat uang besar atas coretannya.
Pada suatu hari apabila Chamet duduk di dek kapal dan dengan sikat besi menyikat rambut Suzanne yang terurai oleh angin, gadis itu bertanya:
- Jean, mungkah nanti seseorang hadiahkan mawar emas kepada saya?
- Mungkin juga, - jawab Chamet. – Mungkin Suzi juga akan kedapatan seseorang yang berkerenah untuk kasih kepadamu mawar emas. – Di regu saya ada seorang serdadu yang kurus badannya. Dia itu selalu beruntung. Dia menemui di padang perang gusi emas yang rosak. Kami menjualnya dan menghabiskan uang untuk minuman arak. Hal itu terjadi di perang Annam[11][11]. Serdadu meriam dalam keadaan mabuk menembak dari mortir untuk hiburan saja. Peluru kena kawah gunung api yang padam dan tiba-tiba gunung api itu mulai bernafas dan meludahkan lahar. Entah apa namanya gunung api itu? Kiranya, Keraka-Taka[12][12]. Peledakan gunung api hebat sekali! Empat puluh orang setempat menjadi korban. Bayangkan saja, empat puluh orang mati karena gusi emas yang terkutuk itu! Kemudian ternyata kolonel kamilah yang kehilangan gusi itu. Tentu perkara itu cepat ditutupi. Citra tentara mesti diutamakan. Tetapi kami betul-betul mabuk masa itu.
-Di manakah itu berlaku? – Suzanne bertanya dengan ragu-ragu.
-Saya sudah beritahu, di Annam, Indochina. Di sana, lautan berapi-api seperti neraka dan ubur-ubur serupa dengan rok berenda penari balet. Dan begitu lembab di situ sehingga selama satu malam sepatu kami penuh ditumbuhi cendawan! Berani sumpah! Biarlah saya digantung mati jika berbohong.
Dulu Chamet sering mendengar cerita karut daripada serdadu lain tetapi sendiri tidak pernah berbohong. Bukan karena tidak pandai, hanya tidak ada keperluan. Tetapi sekarang dia menganggap perlu menghibur Suzanne dengan apa cara pun.
Chamet membawa gadis itu ke Rouen dan menyerahkannya kepada perembuan berbadan tinggi dengan bibir kuning rapat terkatup yakni tante Suzanne. Perempuan tua itu berpakaian gaun hitam daripada kain bergelas dan berkilau seperti ular sirkus.
Suzanne, baru saja melihat perempuan itu, dengan rapat mendakap Chamet dan mantel tentaranya yang pudar warna.
-Tidak apa-apa, - Chamet berbisik dan menolak Suzanne pada bahu. – Kami, serdadu juga tidak memilih komandankompi. Tabahlah, Suzanne, anak serdadu!
Chamet pergi. Beberapa kali dia menoleh pada jendela rumah yang jemu-jemu itu di mana bahkan angin tidak menggerakkan langsir. Dari warung-warung di jalan sempit terdengarlah bunyi jam. Dalam ransel serdadu kepunyaan Chamet tertinggal pita biru yang koyak dari rambut Suzanne yang mengingatkan kepadanya tentang gadis itu. Dan entah mengapa pita itu berbau begitu harum seakan-akan ianya lama disimpan di bakul bersama dengan bunga violet.
Demam Mexico melemahkan kesehatan Chamet. Dia diberhentikan daripada tentara tanpa pangkat sersan dan masuk kehidupan sipil sebagai prajurit biasa.
Masanya berlalu dalam kepapaan. Chamet mencoba banyak pekerjaan rutin dan akhirnya menjadi tukang sapu di Paris. Sejak itu bau debu dan perkumbahan mengekori dia. Dia merasakan bau itu bahkan dalam angin sepoi-sepoi dari sungai Sena dan dalam karangan bunga basah yang dijual oleh perempuan tua dan rapi di jalan-jalan besar. Hari-hari hayatnya menjadi macam kabus kuning. Tetapi kadang-kadang melalui kabus itu dia melihat dalam ingatannya awan berwarna jambu merah yakni gaun tua Suzanne. Gaun itu berbau segar seperti musim bunga seakan ianya juga lama disimpan di keranjang dengan bunga violet.
Di mana dia, Suzanne itu? Apa berlaku dengannya? Dia tahu, sekarang Suzanne sudah menjadi dewasa dan ayahnya meninggal karena luka parah.
Chamet berniat pergi ke Rouen mengunjungi Suzanne tetapi setiap kali menangguhkan lawatannya sampai akhirnya mengerti bahwa sudah terlalu lewat dan pasti Suzanne telah melupakannya.
Dia menyumpah dirinya apabila teringat saat perpisahan dengan gadis itu. Semestinya dia mencium gadis itu tetapi dia menolak pada belakangnya menyongsong perempuan tua itu dan berkata saja: “Tabahlah, Suzanne, anak serdadu!”
Seperti diketahui, tukang sapu bekerja waktu malam. Ini dikarenakan oleh dua sebab: sebagian besar sampah daripada kegiatan manusia yang tidak selalu berguna itu bertimbun pada petang dan selain daripada itu tidak patut menghinakan pemandangan dan penciumnan warga Paris. Sedangkan pada waktu malam tak satu makhluk pun kecuali tikus memerhatikan kerja tukang sapu.
Chamet biasa bekerja malam dan bahkan sukakan masa itu. Terutama  waktu fajar merekah perlahan-lahan di atas Paris. Kabus berkepul di atas Sena tetapi tidak naik lebih tinggi daripada selusur jembatan.
Pada suatu hari waktu subuh berkabus macam itu, Chamet melalui Jembatan Invalide[13][13] dan tampak seorang wanita muda berpakaian gaun ungu muda berenda hitam. Dia berdiri pada selusur dan tengok pada Sena.
Chamet berhenti, mengangkat topi yang berdebu itu dan berkata:
- Nyonya, air di Sena pada waktu ini sangatdingin. Mari saya mengantarkan Nyonya ke rumah.
- Saya tidak ada lagi rumah, - perempuan itu menjawab dengan cepat dan menoleh kepada Chamet.
Topi Chamet terjatuh.
- Suzanne! – katanya dengan ragu-ragu dan gembira. Suzi, anak serdadu! Sayangku! Akhirnya kita bertemu! Kau kiranya lupakan aku, Jean Ernest Chamet, prajurit resimen kolonial ke-27 yang membawamu kepada tante yang buruk itu di Rouen. Kau menjadi jelita betul! Dan bagaimana rapinya rambutmu disisir! Tidak seperti dulu: aku, serdadu lapuk tidak pandai merapikan rambutmu.
- Jean! – perempuan muda itu berseru dan cepat mendekatinya, mendakap pada lehernya dan menangis. – Jean, Tuan tetap baik hati seperti dulu. Aku ingat segalanya.
- Ah, tidak apa-apa! – kumat-kamit Chamet. Apa gunanya kebaikan hatiku. Apa berlaku dengan kau, sayang?
Chamet menarik Suzanne lebih dekat dan membuat apa yang tidak berani dibuat di Rouen: mengusap dan mencium rambutnya yang berkilat. Dan serentak dia menjauhinya karena takut Suzanne merasakan bau tikus pada mantelnya. Tetapi Suzanne merapatkan diri pada bahunya lebih erat.
- Apa berlaku dengan kau, sayang? – dia mengulangi dengan bingung.
Suzanne tidak menjawab. Dia tidak bisa menahan tangisannya. Chamet mengerti bahwa bukan masanya menanyakan dia.
- Aku ada pondok, - katanya cepat. – di kaki tembok tanah kubu. Agak jauh dari sini. Rumah tentu kosong. Tetapi bisa memasak air dan tidur di kasur. Di sana kau bisa mencuci muka dan beristirahat. Dan pada umumnya kau bisa tiggal seberapa lama yang mau.
Suzanne tinggal di rumah Chamet lima hari. Dan lima hari, matahari yang luar biasa cerahnya terbit di atas Paris. Semua bangunan bahkan yang paling tua yang dilapisi asap jelaga, semua taman dan bahkan pondok Chamet berkilauan seperti batu permata disinari matahari itu.
Siapa tidak merasa berdebar hati disebabkan oleh napas wanita muda yang hampir tidak terdengar, ianya tidak bisa mengerti apa itu kelembutan perasaan. Bibirnya ialah lebih cerah daripada kelopak bunga basah. Bulu matanya berkilauan dengan air matanya.
Ya, Suzanne mengalami apa yang diduga oleh Chamet. Kekasihnya, aktor muda mengcuranginya. Tetapi lima hari yang dihabiskan Suzanne di rumah Chamet ternyata cukup supaya mereka berdamai.
Chamet mengambil bagian dalam proses pendamaian itu. Dia terpaksa membawa surat Suzanne kepada aktor itu dan memberi pelajaran kesopanan kepada pemuda tampan itu bila ianya cuba memberi kepada Chamet uang kopi.
Tidak lama kemudian aktor itu datang naik kereta kuda untuk membawa Suzanne pulang. Dan segala-galanya terjadi semestinya: karangan bunga, ciuman, ketawa bercampur tangisan dan keihlasan yang dibuat-buat.
Waktu mereka berangkat, Suzanne begitu tergesa-gesa sehingga masuk kereta tanpa minta diri pada Chamet. Tetapi dia cepat menyedari kesalahannya, merasa malu dan memberi tangannya dengan tersipu-sipu.
- Kalau kau memilih kehidupan menurut cita rasamu, - Chamet merungut, - berbahagialah!
- Aku belum tahu dengan pasti, - jawab Suzanne dan air matanya berkilau di pipinya.
- Jangan bimbang sia-sia, sayang, – aktor berkata dengan tidak puas dan mengulangi lagi: - Jangan bimbang, sayangku yang tercinta.
- Kalau seseorang menghadiahkan mawar emas kepadaku! – Sizanne mengeluh. – Ianya pasti akan mendatangkan aku kebahagiaan. Aku ingat kisahmu di kapal, Jean.
-Siapa tahu! – jawab Chamet. Bagaimana pun, bukan tuan muda itu akan memberi mawar emas kepadamu. Maaf, aku seorang serdadu dan tidak sukakan orang yang muluk-muluk cakapnya.
Dua kekasih sejoli itu bertembung mata. Aktor mengangkat bahu. Kereta berangkat.






Biasanya Chamet membuang segala sampah yang disapunya selama sehari dari bengkel. Tetapi setelah perkara itu dia tidak membuang debu dari bengkel tukang emas. Dia diam-diam mulai mengumpulkannya dalam karung dan membawa ke pondoknya. Tetangganya berfikir bahwa tukang sapu itu terbalik akal. Tidak semua tahu bahwa dalam debu itu ada sedikit serbuk emas karena tukang emas dalam pekerjaannya selalu mengasah barang-barang kemas. Chamet mau mengayak debu, mendapat emas dan membuat daripadanya mawar kecil demi kebahagiaan Suzanne. Mungkin juga mawar itu bisa memberi kebahagiaan kepada orang lain – demikian ibunya pernah bercerita. Siapa tahu! Dia mengambil keputusan tidak berjumpa dengan Suzanne sebelum mawar itu siap.
Chamet tidak pernah mengisahkan usaha itu kepada siapa pun. Dia takut pada pihak berkuasa dan polisi. Entah tahu, apa mereka akan buat bila mengetahui halnya. Mereka bisa menyatakan dia sebagal pencuri, menjebloskan ke penjara dan merampas emasnya. Kan, emas itu sebenarnya bukan dia punya.
Sebelum masuk tentara, Chamet pernah bekerja di ladang seorang pendeta kampung dan karena itu tahu bagaimana gandum diolah. Pengetahuan itu ternyata berguna bagi dia sekarang. Dia ingat bagaimana gandum itu ditampi dan biji yang berat jatuh pada tanah sedangkan debu yang ringan ditiup angin.
Chamet membina alat penampi kecil dan pada waktu malam di pekarangan, menampi debu dari bengkel tukang emas. Dia kuatir sebelum melihat di dulang serbuk emas halus yang hampir tidak bisa tampak.
Banyak masa berlalu sampai serbuk emas itu cukup untuk ketul dibuat. Tetapi Chamet tidak tergesa-gesa memberinya kepada tukang emas untuk meleburkan sekuntum bunga mawar.
 Masalahnya bukan ketiadaan uang: setiap tukang emas akan setuju mendapat sepertiga ketul itu sebagai ganjaran dan tentu akan sangat puas dengan itu.
Bukan itu masalahnya. Setiap hari mendekatkan pertemuan dengan Suzanne. Tetapi Chamet takut pertemuan itu.
Segala kelembutan hatinya hendak dibagikannya kepada Suzanne, hanya kepada dia. Tetapi siapa memerlukan kelembutan hati seorang yang tua dan jelek wajahnya! Chamet sudah lama memerhatikan bahwa satu-satunya kehendak orang yang dijumpainya ialah secepat mungkin pergi dan lupakan mukanya kelabu yang kurus dengan kulit berkedut dan mata menusuk.
Di pondoknya ada sebuah pecahan cermin. Kadang kala Chamet menengoknya tetapi serentak melemparkannya dengan kata-kata laknat. Lebih baik tidak tampak diri, mahluk janggal yang berjalan pincang dengan kaki reumatik.
Apabila mawar akhirnya siap, Chamet mendapat tahu bahwa Suzanne sudah satu tahun pergi ke Amerika, katanya, untuk menetap di sana. Dan tidak seorang pun tahu alamat barunya.
Pada saat pertama Chamet bahkan merasa lega. Tetapi kemudian segala penantian akan pertemuan manis dengan Suzanne menjadi seperti serpihan peluru berkarat yang tersangkut di badannya. Serpihan itu tersangkut di dadanya dekat jantung dan Chamet memohon Tuhan supaya cepat menghentikan degupan jantungnya.
Chamet berhenti kerjanya menyapu bengkel. Beberapa hari dia berbaring di pondoknya dengan mengadap ke dinding. Dia diam membisu dan hanya sekali tersenyum dengan merapatkan lengan mantel lama pada matanya. Tetapi tidak seorang pun melihat itu. Bahkan para tetangga tidak mengunjunginya: setiap sibuk dengan urusan sendiri.
Hanya seorang saja yang mengamati Chamet yakni tukang emas yang menempa mawar emas tipis bersama kuntumnya pada sebuah tangkai sama.
Tukang emas melawat Chamet tetapi tidak membawa obat kepadanya. Dia berpendapat obat tidak ada gunanya lagi.
Dan memang begitu. Chamet dengan tenang meninggal selama salah satu lawatan tukang emas itu. Tukang emas mengangkat kepala tukang sapu itu, mengambil dari bawah bantal mawar emas yang dibungkus dengan pita biru yang koyak dan dengan tidak tergesa-gesa pergi setelah menutupi pintu yang berciut. Riben berbau tikus.


Masa itu ialah penghabisan musim gugur. Kegelapan malam bergerak ditiup angin dan api-api berkedipan. Tukang emas ingat bagaimana berubahnya wajah Chamet setelah meninggal. Ianya menjadi keras dan tenang. Kepahitan mukanya tampak bagi tukang emas bahkan indah.
“Apa yang tidak dibagikan oleh kehidupan, dibagikan oleh kematian”, - begitu tukang emas yang condong kepada fikiran klise berfikir dan menarik napas panjang.
Tak lama kemudian tukang emas menjual mawar emas itu kepada seorang sastrawan tua berpakaian kurang rapi dan menurut tukang emas tidak cukup kaya supaya ada hak untuk membeli barang yang berharga itu. Kiranya sastrawan itu sangat tertarik kepada latar belakang mawar itu yang dikisahkan oleh tukang emas.
Berkat catatan sastrawan tua itu kita tahu riwayat hidup bekas serdadu resimen kolonial ke-27 Jean Ernest Chamet.
Dalam catatannya sastrawan itu antara lain menulis:
“Setiap menit, setiap perkataan dan pandangan yang dilemparkan, setiap fikiran apakah serius atau gurauan, setiap gerak hati manusia seperti juga biji berkapas pohon poplar atau bayangan bintang di lumpur malam – segala-galanya itu merupakan butir debu emas.
Kami, para saterawan selama puluhan tahun mengorak jutaan butir pasir, mengumpulkannya dengan tidak sadar, menjadikannya  sebuah leburan dan selepas itu menempa daripada leburan itu “mawar emas” sendiri – novel, roman, ataupun poem.
Mawar emas Chamet! Ianya merupakan bagi saya sebagai prabayangan kegiatan kreatif kami. Aneh tetapi tidak seorang pun mencoba menyelusuri bagaimana daripada butir debu berharga itu lahirlah aliran hidup sastra.
Tetapi ibarat mawar emas tukang sapu yang tua yang ditujukan demi kebahagiaan Suzanne, kegiatan kreatif kami bertujuan supaya keindahan alam, seruan untuk berjuang demi kebahagiaan, kegembiraan dan kebebasan, kemurahan hati dan kekuatan akal bisa menewaskan kegelapan dan bersinar seperti matahari yang tidak kunjung padam”.

(Dr Victor Pogadaev adalah dosen Universitas Malaya di Kuala Lumpur, berasal dari Moscow)















No comments:

Post a Comment